Mencari Marlin Lain yang Pernah Memakan Bunga
Fatah Anshori, lahir di Lamongan, Jawa Timur pada 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014. Novel pertamanya Ilalang di Kemarau Panjang (2015), beberapa tulisannya termuat dalam tiga buku antologi. Ia juga aktif sebagai pustakawan di Rumah Baca Aksara, yang ia dirikan bersama teman-temannya di dusun Caling, tempat ia tinggal sekarang. Beberapa cerpen dan puisinya telah dimuat di media-media online.
Sebenarnya pagi itu aku ingin menendang Si Babi sejauh mungkin sebagaimana seorang Kiper menendang bola untuk diumpan ke Striker yang berada di dekat gawang lawan. Si Babi itu sekarang sedang tidur tepat di sebelahku. Mulutnya terbuka dan lantai yang berada tepat di bawahnya basah oleh liur. Ia tidur serupa anak kucing kedinginan, namun bagaiamanapun ia tidak sedang kedinginan sebab tubuhnya barangkali adalah gudang bagi lemak-lemak yang selalu melindunginya dari udara dingin. Dilihat dari manapun ia selalu tampak menjijikkan, apalagi ditambah suara dengkurannya yang benar-benar serupa salak Babi. Dan itulah salah satu alasan dari sekian puluh alasan, kenapa aku lebih suka memanggilnya dengan nama Si Babi ketimbang nama aslinya: Firli.
Pagi itu aku benar-benar tidak bisa tidur, karena memikirkan banyak hal, salah satunya adalah harus sekamar dengan Si Babi selama tiga puluh hari ke depan, harus kuakui itu benar-benar menjijikkan. Entah hari-hari seperti apa yang akan menimpaku di sini. Sementara Si Babi masih mendengkur, aku sedang merenung. Ingatanku melayang ke seberang pulau, mengenang rumah, teman-teman yang licik, buku-buku yang belum sempat kubaca di perpustakaan kota dan seorang perempuan yang telah memaksaku untuk pergi ke tempat baru ini.
Jika dipikir-pikir aku ini memang lelaki yang melenceng dari kebanyakan lelaki. Menurut fakta lelaki lebih mengutamakan logika daripada perasaan. Mungkin aku adalah lelaki pertama yang menjadi antitesis fakta itu. aku seringkali tidak tega melihat anak kucing ditelantarkan di tepi jalan, dan memutuskan untuk membawanya pulang ke rumah. Meski di rumah aku tahu, ibu akan marah-marah karena kucing yang kupungut itu kelak akan menjadi pencuri lauk pauk di meja makan. Peristiwa selanjutnya ibu akan menghardikku selama sepagian karena seenaknya memungut anak kucing yang tidak tahu diuntung dan tidak memiliki sopan santun. Mungkin bagi ibu apapun benda hidup yang tinggal di rumah harus memiliki sopan santun, meski itu hewan sekalipun. Tidak hanya itu saja, aku juga sering tidak tega pada para pengamen di bus kota yang selalu kutumpangi setiap kali tamasya keluar kota. Aku biasanya akan dengan mudah merogoh uang di saku atau dompet karena mereka—para pengamen itu—bilang belum makan selama seharian. Selama perjalanan tamasya paling tidak ada sepuluhan pengamen yang kuberi uang makan, sampai-sampai aku lupa bahwa aku juga butuh uang makan. Maka terpaksa aku menahan lapar selama bepergian itu dan menderita sendiri jika melihat teman makan dengan lahap.
Si Babi adalah orang yang kerap memanfaatkan kelemahanku itu. Ia seringkali merengek dan manja, memeninta diantarkan kemanapun ia pergi, kadang ia juga pura-pura capek agar aku mau menyeret kopernya yang beratnya kurang lebih sama dengan sekarung kelereng. Tapi anehnya aku tidak menolak dan merasa bahwa orang yang kesusahan memang perlu untuk dibantu. Aku rasa teman-temanku yang lain kurang lebih juga sama, mereka mencariku jika ada maunya saja. Tapi jika aku yang ada maunya, mereka seperti terhapus dari muka Bumi, tidak ada satupun yang tampak batang hidungnya kecuali satu, Si Babi. Ia akan tetap ada, meski aku tidak mengharapkan bantuannya pada saat itu. Dan akhirnya aku tidak ada pilihan lain.
Si Babi-lah yang pertamakali mengenalkanku pada perempuan itu. Namanya Marlin, seperti sejenis ikan. Tapi ia tipe perempuan yang tidak menyukai ikan sama sekali. Ia mengaku vegetarian.
“Apa kau pernah makan bunga?”
Sejurus kemudian Marlin menampar wajahku dengan kitab KBBI yang tebalnya hampir menyaingi kitab suci. Dan sepertinya aku tahu salahku, ternyata bunga tidak termasuk makanan favorit seorang vegetarian.
“Kenapa bunga tidak menjadi makanan favoritmu?” aku kembali bertanya.
“Kenapa kau tidak mati saja, atau pergi saja ke pulau lain. Di negeri ini ada sekitar 18.000 pulau. Dan hampir seperempatnya belum memiliki nama. Mungkin kau bisa pergi ke sana menanyakan pertanyaan itu pada Marlin-Marlin lain. Semoga saja Marlin lain tidak menamparmu dengan kamus.”
Seorang laki-laki dengan motor Trail tiba-tiba berhenti di depan kami. Marlin kemudian berdiri, dan naik motor itu, tepat di belakang laki-laki itu. Aku melihat dengan jelas Marlin melingkarkan kedua tangannya pada pinggul lelaki itu lantas pergi meninggalkan aku sendiri di cabik-cabik kesepian sebagiamana patung pahlawan yang berdiri kokoh di tengah-tengah taman itu. Sudah sejak lama aku kasihan pada patung itu, ia mencoba tegar meski sebenarnya aku tahu, hati kecilnya serapuh kaca.
Hampir satu bulan aku tak ingin melakukan apa-apa. Melihat Marlin pergi dengan laki-laki lain rasanya seluruh organ di tubuhku rontok seketika. Di rumah ibu panik, ia berkali-kali mengajakku ke orang pintar untuk meminta jampi-jampi* tapi aku menolaknya, kemudian ibu tak kehabisan akal suatu pagi sebelum aku bangun tidur, orang pintar itu telah duduk di pinggiran kasurku. Ibu mungkin telah memanggilnya jauh sebelum aku terbangun. Tiba-tiba wajahku basah. Orang itu telah menyemburkan air beraroma bunga dari mulutnya. Ia mengulanginya sebanyak tiga kali. Seketika itu pula aku ingin menamparnya, namun ternyata kedua tangan dan kakiku telah diikat oleh tali. Mungkin ibu dan orang pintar itu yang melakukannya ketika aku sedang tertidur pulas. Maka tidak ada cara lain membalas orang pintar sialan itu kecuali pasrah saja kepada Tuhan. Biar Tuhan yang membalas orang yang tidak sopan telah menyemburkan air kumur ke wajah orang lain di pagi hari. Sementara waktu itu aku masih ingat ibu berdiri di ambang pintu dengan wajah yang tampak cemas. Aku tahu ia mengkhawatirkan keadaanku.
“Ini jenis Jin yang pernah hidup pada masa kerajaan Nabi Sulaiman, nyonya.” Lelaki dengan blangkon dan kumis setebal keset, atau yang disebut-sebut ibu sebagai Orang Pintar, itu menghela napas. “Jadi agak susah untuk mengeluarkannya dari tubuh Putra, nyonya.”
Sejurus kemudian bau busuk tercium, itu seperti aroma telur ayam rebus ditambah ubi rebus ditambah nasi basi ditambah ikan laut yang belum dimasak. Sialan, pasti itu kentut Si Babi. Tadi di perjalanan seingatku ia menghabiskan satu porsi nasi dengan lauk melimpah. Sekarang ia sedang mendengkur di bawah kakiku. Aku tidak tahu sejak kapan ia berada di bawah kakiku padahal tadi ia tepat berada di sampingku. Sepertinya aku tidak ada waktu untuk serius memikirkan dengan cara apa si Babi tiba-tiba berada di bawah kakiku. Mungkin nanti akan kupikirkan jika aku benar-benar sudah malas melakukan apapun.
Karena orang-orang rumah termasuk ibuku sangat percaya pada Orang Pintar itu, orang seisi rumah berencana untuk memasungku di Kandang Belakang. Aku dianggap telah memiliki indikasi penyakit orang gila—dan mereka takut aku mengusik keeamanan mereka, sebab mereka percaya bahwa orang-orang gila kerap melakukan hal-hal di luar nalar, semisal ia tidak pernah ragu-ragu untuk memotong telinga orang yang telah mengganggunya. Ibu menjadi orang yang paling takut juga paling khawatir dengan keadaanku, di satu sisi ibu memandangku dengan sorot mata yang tidak biasa. Itu serupa sorot mata yang sedang melihat berak ayam, muntahan isi perut dan sebagianya yang biasanya berhasil membuat orang memuntahkan isi pertunya saat sedang menatapnya sekilas saja. Dan apa kau tahu rasanya disejajarkan dengan benda menjijikkan semacam itu? Kelak kau akan tahu sendiri jawabannya.
Aku mendengar rencana mereka. Ibu, Ayah dan saudara-saudaraku hendak mengirimku ke kandang belakang, tempat itu tidak lain adalah sebuah ruang lembab yang dihuni keluarga serangga-serangga menjijikkan dan memiliki aroma yang kurang lebih serupa dengan kentut Si Babi barusan, yang sekarang tiba-tiba sudah berada di atas kepalaku. Sinar matahari menembus jendela kaca di atasku. Sinarnya jatuh tepat di samping kananku.
Aku ingat, saat itu juga aku melompat dari jendela, setelah mengunci pintu kamar dari dalam. Dan aku yakin ketika mereka berhasil masuk kamarku. Mereka akan tampak bodoh setelah mengira aku sedang tidur lelap di balik selimut. Padahal di balik selimut itu hanya ada tumpukan bantal yang kususun panjang seukuran tubuhku. Aku tidak bisa membayangkan wajah kesal mereka karena berhasil dibodohi, orang yang dianggap gila.
Saat itu aku tidak tahu hendak ke mana setelah kabur dari rumah. Karena kedua kakiku terasa berat aku memutuskan duduk di serambi masjid desa sebelah. Tas berisi dua setel pakaian dan sebuah laptop ternyata berat juga jika kau membawanya berjalan selama hampir tiga jam. Karena bingung mau ke mana, aku merogoh ponsel di saku celanaku. Aku mengirim pesan ke seluruh temanku di kontak. Dari sekian banyak teman satu pun tak ada yang membalas, aku sudah mengira mereka memang sialan. Benar kata salah satu cerpen di Agrariafolk itu, manusia memang lebih sering mengecewakan. Mungkin jika itu pesan berisi ajakan pesta makan, hampir seluruhnya akan membalas pesan itu dengan segera. Karena sedikit kesal dengan mereka, aku tiba-tiba teringat perkataan Marlin, tidak perlu khawatir negara ini memiliki sekitar 18.000 pulau. Aku membayangkan bisa tinggal di salah satu pulau itu dan memulai hidup baru. Lalu sebisa mungkin berusaha melupakan Marlin. Satu jam kemudian ponsel yang kugeletakkan di lantai tiba-tiba berbunyi, sebuah pesan masuk. Si Babi membalas pesanku. Ia menawarkan tempat tinggal. Ia mengajakku ke rumah Bibinya.
“Besok kita berangkat dari terminal Kota Lama.” itu jawabannya ketika kutanya tentang kapan kita berangkat. Seperti biasanya tidak ada pilihan lain, hanya Si Babi-lah yang akhirnya muncul. Meski aku tahu, ia selalu menyimpan rencana busuk di balik isi kepalanya, bahkan mungkin juga terselip di balik lemak-lemak yang bertonjolan di sekujur tubuhnya. entah itu prasangka buruk atau tidak aku kurang tahu, tapi aku menganggapnya sebagai kesimpulan dari sebuah pengalaman empiris. Sebagaimana guru SMA-ku dulu pernah bilang begitu, pengalaman adalah guru yang terbaik.
Tepat pukul dua aku sudah berada di terminal Kota Lama, itu adalah satu-satunya terminal di kotaku yang merupakan pintu keluar bagi seseorang yang ingin meninggalkan kota. Hampir setiap jam bus-bus besar keluar masuk di terminal itu. aku memutuskan untuk duduk di kursi panjang, ruang tunggu. Di sekitarku beberapa orang juga melakukan hal yang sama, duduk diam, memainkan handphone-nya, beberapa ada yang terlibat percakapan dengan orang di sampingnya, beberapa ada yang sedang membaca koran. Orang di depanku juga sedang membaca koran, wajahnya tertutup oleh koran tersebut, di belakang koran itu tampak berita utama hari ini: Cuaca Buruk Akan Terjadi Sebulan Kedepan.
Aku kembali menyisir seluruh ruang tunggu, berharap Si Babi segera datang. Ia bilang tepat pukul dua siang sudah berada di ruang tunggu terminal Kota Lama. Aku menatap jam dinding digital yang muncul bergantian dengan kalimat-kalimat himbauan bagi penumpang bus antar kota. Waktu itu tepat pukul 14.16 dan belum ada tanda-tanda kemunculan Si Babi, aku hampir kesal dibuatnya, sebelum seseorang di depanku menurunkan korannya dan berkata.
“Dari mana saja kau?” aku benar-benar tidak menyadari jika seseorang yang membaca Koran tadi adalah Firli atau Si Babi.
Kemudian kami segera naik ke bus dan duduk di kursi nomor 13 dan 14. Si Babi duduk tepat di pinggir jendela kaca. Kami duduk berdampingan. Sambil menunggu seluruh kursi penuh. Satu dua penjual asongan masuk menawarkan minuman dingin, lumpia, kacang goreng, tahu goreng, dan kadang mainan murahan anak-anak. Aku sama sekali tidak tertarik. Aku lebih tertarik memandangi orang-orang lalu lalang di luar yang sedang kebingungan mencari bus, dan di sudut gerbang keluar bus, tampak seorang anak berpelukan dengan ibunya, keduanya tampak bahagia sekali seakan-akan mereka tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. aku jadi teringat ibuku waktu itu, aku merindukan ibu, meski jelas-jelas aku tahu ibu hendak memasungku di kandang belakang.
Tidak lama kemudian bus melaju. Saat masuk tadi aku tidak membaca ini bus jurusan mana. jadi perjalanan ini entah akan berakhir di mana. Tapi yang jelas perjalanan ini akan berakhir di rumah Bibi Firli. Aku menatap Si Babi yang sejak tadi tampaknya sibuk dengan handphone-nya. Aku sudah bisa menduganya, ia sedang larut dalam game-nya. Itu sejenis game RPG. Suatu waktu ia pernah membayangkan dirinya adalah salah satu prajurit yang serupa dengan game yang sedang dimainkannya itu. mungkin itu semacam obesi yang berlebihan. Ia pergi ke tukang cukur untuk memangkas rambutnya sepersis mungkin dengan prajurit di game itu. ketika ia menunjukkan kemiripan wajahnya dengan prajurit di game itu, aku ingin tertawa sekencang-kencangnya, sama sekali tidak mirip. Setengah rambutnya dipangkas habis dan setengahnya dibiarkan panjang sebagaimana kebanyakan anime-anime Jepang. Hasilnya ia dikeluarkan dari kelas, dan baru boleh masuk kelas jika potongan rambutnya sudah rapi.
Beberapa saat yang lalu Bus telah masuk ke lambung kapal bersama kendaraan-kendaraan lain yang sepertinya juga memiliki tujuan pulau yang sama. Waktu itu aku tidak tahu tepatnya pukul berapa bus yang kutumpangi sampai di pelabuhan. Sepertinya aku tertidur saat itu, tahu-tahu suara mesin bus tidak terdengar lagi. Dan tubuhku terasa bergoyang-goyang, agak memusingkan kepala, seolah benda disekitar ku berputar.
“Sekarang kita berada di dalam kapal!” Si Babi masih sibuk dengan game RPG-nya. Kedua matanya memerah, tampaknya ia terjaga selama perjalanan.
Aku kembali tertidur lagi, meski sebenarnya aku ingin tahu perjalanan ini akan berakhir dimana. Tapi sepertinya aku sedang malas berbicara dengan Si Babi. Dan lebih memilih kembali menutup mata.
Bus menurunkan kami di pinggiran jalan, ketika jam digital di handphone-ku menunjuk tepat pukul 04.09. Bus yang kami tumpangi melanjutkan perjalanan, mungkin bus itu akan berhenti di terminal paling akhir, yang entah dimana aku tidak tahu, dan aku juga tidak begitu tertarik ingin tahu. Di pertigaan jalan seekor anjing sedang menggaruk lehernya dengan kaki belakangnya. Sesekali anjing itu menggonggong. Sementara sekitar sepuluh meter di sebelah kananku ada keramaian kecil, satu dua orang datang dan pergi ke keramaian itu.
“Itu pasar tradisional orang sini, jangan heran.” Si Babi seperti bisa membaca apa yang ada di kepalaku. Aku sedikit curiga pada game RPG yang sedang ia mainkan, apa mungkin game itu mengajarkan cara membaca pikiran orang lain. Entahlah.
Tidak lama kemudian seseorang dengan motor Astrea muncul dari balik tikungan yang berada tidak jauh dari pasar tradisional itu. Ia akhirnya berhenti di depan kami. Si Babi segera naik, dan aku pun ikut naik setelah Si Babi menyuruhku segera ikut. Sebenarnya aku agak kasihan dengan motor itu, tapi apa boleh buat, aku juga tidak mau berjalan di tempat yang masih asing itu.
Setelah melewati gang-gang kecil yang berkelok-kelok akhirnya sampai juga kami di sebuah rumah. Rumah yang tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Gaya bangunannya benar-benar asing, lebih mirip rumah ibadah dari pada rumah hunian. Kemudian lelaki tadi mengantarkan kami ke sebuah kamar. Kamar yang gelap, yang akan kami tempati selama tiga puluh hari kedepan. Katanya lampu kamar ini padam sudah lama, dan belum sempat diganti. Mungkin besok baru bisa diganti kata si laki-laki itu. Baru beberapa saat kemudian aku tahu, jika si laki-laki tadi adalah kepala keluarga rumah ini.
Sejak kepergian laki-laki itu aku benar-benar tidak bisa tidur.
Sesekali aku memikirkan delapan belas ribu pulau yang dikatakan Marlin. Semoga rumah yang aku tempati ini berada di salah satu pulau dari delapan belas ribu itu. Dan sebagaimana kata Marlin barangkali aku bisa menemukan Marlin yang lain di tempat baru ini. Itu terdengar tolol, tapi bagaimana lagi. Marlin sendiri yang mengatakan padaku.
Pagi itu, aku memutuskan untuk keluar. orang-orang rumah tampak masih tertidur di kamarnya masing-masing termasuk Si Babi, aku membiarkannya tertidur pulas di lantai. Ketika pertama kali membuka pintu, sinar matahari seolah menyerang mataku dengan silau sinarnya. Tepat di luar pagar seekor anjing hitam duduk dan sesekali menggaruk lehernya dengan kaki belakang. Dari sebelah timur rumah terdengar suara air mengalir, di sana orang-orang duduk di tepi sungai sambil memegangi kail yang mereka bawa. Aku berjalan ke sebelah timur rumah, dan duduk berjongkok memandangi taman yang benar-benar asing. Ada dua bangunan aneh yang berdiri di dua sudut taman, itu serupa totem yang tingginya melebih tinggi tubuhku, hanya saja tidak memiliki wajah di ujung atasnya. Namun sebagai gantinya ada sebuah atap kecil yang serupa pagoda. Di sekitar bangunan itu tampak sisa-sisa bunga berceceran bersama potongan-potongan daun pandan. Tidak jauh dari dua bangunan itu burung-burung dara mematuki rumput. Aku tidak tahu bangunan apa itu, tapi aku suka memandanginya lama-lama, di sekujur tubuhnya ada semacam relief gambar sulur tumbuhan yang tampaknya dikerjakan dengan ketelitian tinggi, mungkin hanya professional yang mampu menghasilkan ukiran tumbuhan dan jenis-jenis bunga semacam itu.
Bicara tentang bunga, itu mengingatkanku tentang Marlin. Aku pernah menanyakan seperti apa rasa bunga, apakah ia pernah makan bunga. Mungkin itu pertanyaan tolol. Tapi aku berharap semoga tiga puluh hari kedepan aku dapat menemukan Marlin lain yang mau menjawab seperti apa rasanya makan bunga.
—Juni 2017